Kalau kita mendengar tentang DevOps, apa yang muncul dalam benak kita? Mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa jika ada seseorang yang menangani deployment (read: launching sebuah fitur software), itu sudah cukup untuk disebut sebagai tim DevOps. Namun, sebenarnya, esensi dari DevOps jauh lebih dalam daripada sekadar penanganan deployment.
Salah satu cerita sukses yang melibatkan DevOps adalah kisah dari Flickr, salah satu perintis penggunaan praktisi DevOps. Mereka dihadapkan pada tantangan besar untuk menjawab permintaan pengguna yang terus meningkat. Masalah utama yang muncul adalah siklus rilis produk yang lambat dan terjadinya pembagian yang memisahkan antara tim-tim (Silo).
DevOps, pada dasarnya, adalah tentang meruntuhkan dinding pemisah antara tim pengembang (Software Developer) dan tim operasional (IT Ops). Ini menciptakan suatu bentuk kerjasama yang disebut “coopetition,” di mana ada kolaborasi (cooperation) dan persaingan (competition) terjadi sekaligus. Ini menandakan perubahan budaya yang mendasar.
Jadi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan DevOps? Lebih dari sekadar menggunakan alat dan teknologi tertentu, DevOps melibatkan perubahan budaya. Kolaborasi, Otomatisasi, dan fokus pada kepuasan pengguna akhir menjadi tiga kunci utama dalam penerapan konsep ini.
Awalnya, seringkali konflik internal yang serupa dapat ditemui di berbagai industri, tidak terkecuali dalam dunia teknologi. Misalnya pada industri pendidikan, terlihat perdebatan antara guru dan pembuat kurikulum. Pada services industry, ada pertarungan antara bagian pemasaran dan bagian operasional. Begitu juga di restoran, di mana tim pelayanan bersaing dengan para koki. Sedangkan di perusahaan pengembang perangkat lunak, terjadi persaingan antara pengembang dan ahli pengujian (QA). Konflik inilah yang ingin diberantas oleh DevOps menjadi sebuah kolaborasi yang padu.
Namun, penting untuk diingat bahwa DevOps bukanlah tentang alat atau teknologi yang digunakan. Meskipun kita sering mendengar istilah seperti Kubernetes, Jenkins, dan Docker, inti dari DevOps sebenarnya adalah mindset (bukan tools). Jangan sampai terjebak dalam buzzwords, kata-kata yang terdengar keren, tanpa memahami esensi perubahan budaya yang sebenarnya terjadi.
Ada pandangan yang mengatakan bahwa “Tidak semua hal bisa mengadopsi DevOps”
Tapi, yang seharusnya, pemahaman yang lebih baik adalah bahwa “Semua hal seharusnya mengadopsi DevOps”. Dalam sistem yang membutuhkan keamanan tinggi, DevOps sulit diterapkan? Tidak juga, Sekarang kita bisa menerapkan konsep DevSecOps. Bagaimana dengan ekosistem dengan regulasi tinggi? Bisa tetap menggunakan DevOps dengan prinsip continues compliance (kepatuhan berkelanjutan). Intinya, DevOps dapat disesuaikan dengan berbagai konteks.
Melihat perubahan dalam dunia teknologi, kita bisa menyaksikan bagaimana kecepatan menjadi segalanya. Era aplikasi desktop dengan “rilis utama setiap 3 tahun” digantikan oleh era aplikasi web dengan “rilis utama tahunan” dan “rilis minor kuartalan atau bulanan.” Sekarang, di era aplikasi seluler, kita melihat “rilis utama kuartalan atau bulanan” dan “rilis minor mingguan.” Bahkan, ada rilis-rilis tahunan yang diwajibkan pada user untuk melakukan update (kalau tidak update, tidak bisa pakai).
Kecepatan memang segalanya sekarang! Dulu kita kenal blog, berupa tulisan panjang. Saat ini digantikan dengan konten di media sosial yang lebih singkat dengan desain grafis. Album penuh dalam satu kaset digantikan dengan sistem peluncuran single (satu lagu) pada industri musik. YouTube yang penuh dengan video panjang kini mulai disaingi oleh TikTok yang berisi video pendek. DevOps memberikan dorongan pada perubahan ini, memungkinkan kita untuk terus beradaptasi dengan dunia yang terus bergerak cepat. Inilah kekuatan DevOps: budaya yang membawa perubahan.